Luka Oden
Wiwin pArlina
“Satu, dua, tiga.”
Mulut kecil Oden menghitung
kepingan logam yang perlahan dimasukannya ke dalam celengan tanah miliknya.
“Tiga ratus!” Oden sumringah,
dielusnya sayang celengannya. Kemudian dengan perlahan dimasukannya ke dalam
kotak berkas yang dipungutnya di tempat sampah, hati-hati seklai seperti
membelai bayi.
Saat Oden menggoyangkan kotak
bekas itu, maka suara keping logam yang beradu menjadi sumber suara di dalam
gubuk itu, dan bagi Oden suara-suara itu merupakan suara paling indah melebihi
suara penyanyi dangdut yang dulu pernah didengarnya.
Detik itu menjadi kegembiraan
Oden. Namun detik berikutnya kesenangan itu terganggu, bocah itu merasa ada
sesuatu yang jatuh dikepalanya. Diusapnya basah, ini artinya air, hujan!
Oden segera mengambil beberapa
kaleng bekas cat yang biasa disusun semacam pyramid, benar-benar kaleng
multidungsi!
Dengan cetakan diletakannya
kaleng itu pada titik-titik rawan gubuknya. Setelah selesai, Oden duduk diatas
tikar tidurnya sambil memperhatikan air yang jatuh ke kaleng, bunyi jatuhnya
nyaring mengganggu sekali, mala mini sepertnya ia tidak bisa tidur.
Hujan, sebenarnya Oden benci
hujan. Keadaani ni akan membuatnya kelaparan sedikit lebih lama, karena bibinya
pasti tidak akan sudi susah-susah menyambanginya saat hujan. Sejak awal Oden
sudah diperlakukan berbeda, gubuk yang ditempatinya sengaja dibangun untuk
mengatur jarak dengan keluarganya. Masih diingatnya dengan sangat jelas
suara-suara yang mengingingkannya dirinya menjauh.
“Anak haram membawa sial, empat puluh rumah dari sini!”
“Anak jadah pembawa petaka”
“Anak jadah pembawa onar”
“Anak jadah…”
“Anak haram..”
“Dosa…”
“Petaka…”
“Sial…”
“Anak jadah pembawa petaka”
“Anak jadah pembawa onar”
“Anak jadah…”
“Anak haram..”
“Dosa…”
“Petaka…”
“Sial…”
Entah apalagi yang mereka
katakan, karena semakin Oden melangkah pergi, suara-suara itu kian sayup. Bila
disuruh memilih, Oden lebih baik dipukul ibunya dan ditendang ayahnya.
Setidaknya, artinya bila itu terjadi ia mempunyai orang tua. Oden berjanji
tidak seperti malin kundang yang durhakan pada ibunya. Bocah berusia 6 tahun
itu mempunyai seribu janji pada Tuhan apabila ia bertemu dengan ibunya. Tapi
seribu sayang, tak ada satupun kisah ibunya yang sesuai dengan telinga
kecilnya.
Oden layaknya selebritis,
terkenal di kalangan ibu-ibu penggosip, namun tak kalah tenar di warung-warung
pinggri desa, banyak yang Oden dengar tentang ibunya, versi tentang sejarah
kelahiranya pun beragam, kata orang-orang, ibunya itu orang gila yang bunting
diperkosa orang mabuk, tapi beredar pula berita bahwa ibunya orang gila yang
dijadikan bulan-bulanan oleh preman kampong. Bahkan, ada yang mengatakan
laki-laki yang menggagahi ibunya masih anggota keluarga.
Benar-benar beban mental bagi
pikiran sederhana anak seusia Oden. Dibesarkan dalam lingkungan di mana
orang-orang selalu mencibirnya,, membuat Oden hidup dalam ruang imajinasinya
sendiri, benar-benar sendiri. Ini lebih menyakitkan dibanding sakit dan
cacatnya tubuh, lebih menyakitkan disbanding perlakuan kasar pada fisik.
Anak itu jijik melihat ibu-ibu
penggosip, mereka seperti belatung-belatung yang berpesta di atas bangkai
tikus, kotor dan menjijikan!
Hanya satu kabar bagus yang
menyentuh gendang telinganya, merembes ke pembuluh darah dekat hati, hangat,
meningkatkan adrenalin. Angin segar, ini benar-benar angin segar bagi Oden.
Sekarang, ia tahu keberadaan ibunya. Yang sejak itu merindukan buaiannya,
merindukan putting susunya.
Inilah impian Oden, Selagalas,
tempat yang dianggap tujuan hidupnya, tempat yang dilihat sebagai suatu istana
dalam imajinasinya, tujuan dari segala usahanya. Mengingat itu, oden sperti
mendengar suara kepingan logam, yang beradu, syahdu dan benar-benar nikmat.
Bila uang dalam celengannya itu
sudah cukup ia akan langsung pergi ke tempat impiannya itu, Selagalas.
Tiba-tiba Oden meringis, perutnya
merasa melilit, sedangkan hujan di luar semakin deras, Oden tersenyum kecut,
suara air yang jatuh ke dalam kaleng juga sudah tidak terlalu nyaring, rupanya
kaleng-kaleng itu sudah penuh, air mulai merembes ke lantai tanah dan gubuk
Oden becek.
Oden semakin merapatkan tubuhnya,
tubuh kurus itu menggigil, Oden menekuk tubuhnya dan sedikit menekan perutnya
yang kian sakit, perlahan Oden tertidur, ia mulai lupa akan hujan, lupa, lupa…
Dalam tidurnya Oden tersenyum,
sneyum hangat layaknya anak dalam buaian ibu. Ia seperti mendengar nyanyian
bidadari, lembut begitu lembut. Ah, … Oden, mimpi. Memang terkadang mimpi itu
indah. Tapi, bersiaplah untuk terjaga….
SELESAI
Unsur-Unsur Intrinsik:
Meupakan unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra.
Tema :
Kerasnya Kehidupan
Alur :
Maju
Tokoh :
Oden, Bibi, Keluarga, Tetangga.
Perwatakan Tokoh :
Oden : tegar, pekerja keras, pemimpi. (Protagonis)
Bibi, keluarga, tetangga : Tidak bijaksana,
tidak baik. (Antagonis)
Latar :
Tempat : Gubuk, pedesaan.
Waktu :
Malam hari ketika hujan
Suasana : Dingin, meresahkan, mencekam,
memprihatinkan.
Sudut Pandang :
Orang ketiga
Gaya Bahasa :
Baku
Amanat :
1.
Seburuk
apapun keadaan kita, tetaplah bermimpi, tetaplah berusaha!
2.
Bagaimanapun keadaan orang tua kita, tetaplah
berbakti kepada mereka. Karena bagaimanapun juga, mereka tetap orang tua kita.
3.
Tetaplah
tegar, tetaplah menjadi positif walaupun tidak ada orang yang mendukungmu!
4.
Jangan
berbicara sembarangan, karena bisa jadi apa yang kita bicarakan itu belum benar
serta menyakiti perasaan orang lain.
5.
Apa
yang anda lakukan sekarang akan berdampak pada kehidupan anak cucu anda nanti.
Maka berbuat baiklah!
`
nice cerpen :D
BalasHapusKeren banget, terima kasih atas jawabannya
BalasHapusapakah tema cerita
BalasHapusKonfliknya apa kak
BalasHapus